jika aku adalah daun, aku adalah daun yang melekat
pada tangkai-tangkai rapuh pohon filicium tua. aku salah satu dari berjuta daun
yang merumpun, membentuk sedemikian rupa hingga kau pun tak kan mampu
mengenaliku dalam satu kejap mata. tapi jika kau jeli melihatku kau pasti bisa
membedakanku dari jutaan daun daun yang mengerubuti filicium tua ini. apa kau
menyadarinya? baiklah akan ku perjelas, tapi sebelumnya aku ingin bercerita
sebentar. kala itu ketika mentari menyapa dengan teriknya aku melihatmu
berjalan penuh peluh, lalu kutiupkan sedikit semilir angin melalui pori poriku
yang hijau kau pun terbuai dan merapatkan tubuhmu pada filicium-ku. meneduh
dari sengatan sang surya yang mulai membakar wajahmu. ingatkah kau kala itu
menatapku lekat dan melekukkan senyuman? senyuman yang begitu memesona hingga
kuhujani kau dengan beribu oksigen membuatmu menghela napas panjang-panjang. ah
kala itu kau benar-benar betah berlama-lama denganku hingga kau tertidur pulas
dibawah filicium-ku. ke esokan harinya aku selalu menantimu dengan harapan
dapat selalu kulihat peluhmu dan kutiupkan hembusan asmara padamu. ternyata kau
tipikal lelaki setia, kau hanya meneduh padaku meskipun kau jumpai ratusan
filicium dalam perjalananmu. sampai pada suatu hari sudah sebulan aku tak
melihatmu dan peluh-peluh manismu aku mengadu pada merpati, gelatik, parkit,
jalak bahkan ungkut-ungkut tapi tak satupun dari mereka yang pernah
menjumpaimu. aku jadi berpikir akankah kau temukan peneduh baru?
aku pun selalu gelisah pada siang malam berikutnya.
setiap ku dengar derap langkah aku selalu berharap itu kau, dan sesering itulah
aku kecewa. perlahan, tubuhku berubah tak sehijau dulu. apakah aku terkena
syndrome gila yang disebut cinta? ah aku tak tahu pasti. penantianku berlanjut
hingga purnama ke dua puluh tapi tak kunjung kujumpa dirimu. sampai suatu senja
kala mentari kembali ke peraduannya, aku melihatmu di kejauhan! tapi bukan
dengan peluh-peluhmu melainkan dengan raksasa bertubuh besi yang bergemuruh.
aku benar-benar takut! kau terlihat seperti kesetanan. kau membabat habis
kawanku hingga bunyi berdebum yang mengerikan. jarakmu tak lagi jauh denganku.
aku semakin cemas. aku mohon berhentilah, tapi kau tetap teguh melaju roda-roda
besi itu mendekat, kau mencoba menumbangkan filicium-ku. tapi kau salah, kami
berjuang untuk tegak berdiri. perlahan kau turun dan bersama kolonimu
mengeluarkan suatu alat yang menyerupai pisau raksasa dan bergerigi tajam. tak
terperi kau hujani kami dengan sayatan keji dan dalam hitungan detik kami
tumbang dihadapanmu. perlahan kau mendekatiku menatapku lekat seperti pertama
kali berjumpa dulu dan sepertinya kau mengingatku, ya akulah sehelai daun yang
memiliki corak hitam bekas tintamu yang kau usapkan padaku kala itu. akulah
sehelai daun yang menanti peluhmu. tapi kini pada purnama ke dua puluh satu aku
menguning dan hilang dalam hembusan angin.